Selasa, 17 April 2012

Makalah Pendidikan Pancasila


INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM, IMPLEMENTASINYA SEBAGAI UPAYA UNTUK MENEGKKAN KEADILAN

Makalah ini di ajukan sebagai pemenuhan tugas
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen : Heru Sofyan,SH.M.Pd


Penyusun : ”KELOMPOK  VII”
1.      AHMAD ASRORI                             (                          )
2.      ARIJAL DWI PAMBUDI                   (2111001210147)
3.      DHOIFATUL KHOIRIYAH             (2111001210121)
4.      EKA AGUSTIANINGSIH                 (2111001210202)
5.      FEBRI ARIYANANTI                       (2111001210120)


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN
ILMU EKSAKTA DAN KEOLAHRAGAAN
IKIP BUDI UTOMO MALANG
2012


DAFTAR ISI
                                                                                                                                          Hal.
COVER
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….       ii
KATA PENGATAR ………………………………………………………………..       iii
I.                   PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah ……………………………………………..      1
2.      Rumusan masalah ……………………………………………………      2
3.      Tujuan penulisan ……………………………………………………..      2
II.                PEMBAHASAN …………………………………………………………    3-5
III.             PENUTUP
1.      Kesimpulan …………………………………………………………..      6
2.      Saran-saran …………………………………………………………...     6
DAFTAR PUSTAKA






KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Alloh Swt. Yang telah memberikan banyak nikmatnya kepada kami. Sehingga kami mampu menyelesaikan Makalah Pendidikan Pancasila ini sesuai dengan waktu yang kami rencanakan. Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah Pancasila. Yang meliputi nilai tugas, nilai kelompok, nilai individu, dan nilai keaktifan.
Penyusunan makalah ini tidak berniat untuk mengubah materi yang sudah tersusun. Namun, hanya lebih pendekatan pada study banding atau membandingkan beberapa materi yang sama dari berbagai referensi. Yang semoga bisa memberi tambahan pada hal yang terkait dengan Kepentingan Pendidikan Pancasila dalam perkembangan Negara Indonesia di Era Reformasi.
Pembuatan makalah ini menggunakan metode pustaka, yaitu mengumpulkan dan mengkaji materi Pendidikan Pancasila dari berbagai referensi dan internet.
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Heru Sofyan,SH.M.Pd sebagai pengajar mata kuliah Pancasila yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.tidak lupa pula kepada rekan–rekan yang telah ikut  berpartisipasi. Sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya.

Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kondisi Negara Hukum Indonesia kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Hukum diperlukan agar kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan dapat memperoleh bentuk resmi yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan berlakunya untuk umum. Karena hukum yang baik kita perlukan dalam rangka pembuatan kebijakan (policy making) yang diperlukan merekayasa, mendinamisasi, mendorong, dan bahkan mengarahkan guna mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut (policy executing), hukum juga harus difungsikan sebagai sarana pengendali dan sebagai sumber rujukan yang mengikat dalam menjalankan segala roda pemerintahan dan kegiatan penyelenggaraan negara.
Namun dalam kenyataan praktik, baik dalam konteks pembuatan kebijakan (policy making) maupun dalam konteks pelaksanaan kebijakan (policy executing), masih terlihat adanya gejala anomi dan anomali yang belum dapat diselesaikan dengan baik selama 11 tahun pasca reformasi ini. Dari segi sistem norma, perubahan-perubahan telah terjadi dimulai dari norma-norma dasar dalam konstitusi negara yang mengalami perubahan mendasar. Dari segi materinya dapat dikatakan bahwa UUD 1945 telah mengalami perubahan 300 persen dari isi aslinya sebagaimana diwarisi dari tahun 1945. Sebagai akibat lanjutannya maka keseluruhan sistem norma hukum sebagaimana tercermin dalam pelbagai peraturan perundang-undangan harus pula diubah dan diperbarui. 
Sebenarnya, upaya pembaruan hukum itu sendiri tentu dapat dikatakan sudah berjalan selama 11 tahun terakhir ini. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa: Pertama, perubahan-perubahan tersebut cenderung dilakukan secara cicilan sepotong-sepotong tanpa peta jalan (road-map) yang jelas. Akibatnya, perubahan sistem norma hukum kita selama 11 tahun masa reformasi ini belum menghasilkan kinerja Negara Hukum yang kita diidealkan. Kedua, pembentukan berbagai peraturan perundang-undang baru telah sangat banyak menghasil norma-norma hukum baru yang mengikat untuk umum. Akan tetapi norma-norma baru itu belum secara cepat tersosialisasikan secara umum sehingga pelaksanaannya di lapangan banyak menghadapi kendala dan kegagalan. Sebaliknya, norma-norma hukum yang lama, sebagai akibat sudah terbentuknya norma hukum yang baru, tentu sudah tidak lagi dijadikan rujukan dalam praktik.


B.     Rumusan Masalah
1.        Apa sistem yang dilakukan pemerintah menegakkan hukum keadilan di Negara Indonesia?
2.        Mengapa hukum sering digunakan sebagai alat untuk mengalahkan pencari keadilan?

C.    Tujuan penyusunan
Adapun tujuan penyusun dalam menyelesaikan makalah ini yakni:
1.    Untuk mengetahui apa saja sistem yang dilakukan pemerintah menegakkan hukum keadilan di Negara Indonesia.
2.    Memanfaatkan hukum sebagai alat untuk mengalahkan pencari keadilan, khususnya bagi rakyat Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Apa sistem yang dilakukan pemerintah menegakkan hukum keadilan di Negara Indonesia?

Negara Indonesia adalah negara hukum, salah satunya adalah Hukum yang menegakkan keadilan di Indonesia. Dalam buku kelima Nicomachean Ethics, Aristoteles menjelaskan sangat bagus tentang keadilan. Ia menyebutkan bahwa “Yang sesuai dengan undang-undang dan sama itu adil, yang bertentangan dengan undang-undang yang tidak sama itu tidak adil” (F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, 2007). Sebuah negara tidak akan mengalami keadilan, tanpa menuruti undang-undang yang ada. Keadilan akan terpuruk. Tercoreng identitas aslinya.
Argumen tersebut terlihat masuk akal. Namun ada masalah besar di baliknya. Apakah undang-undang keadilan itu semata-mata merupakan bentuk formalitas belaka di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan mengakibatkan kepentingan fundamental para birokrat, seperti soal korupsi dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM)? Apakah keadilan dalam undang-undang hanya sebagai selubung untuk menutup kekuatan, kepengecutan, dan ketidakmampuan pemerintah untuk menegakkan hak-hak bangsa yang berdaulat? Atau pemerintah sungguh upaya yang tulus untuk menyelesaikan konflik ketidakadilan dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan fundamental masyarakat? Namun hingga sekarang masih saja terasa terlukanya keadilan masyarakat di negara ini, seperti di Papua Barat dan beberapa tempat lainnya.
Kepatuhan terhadap undang-undang dianggap adil dan pelanggarannya dianggap tidak adil (Budi Hardiman, 2007). Kita dapat mengenal tindakan ini adil atau tidak melalui undang-undang. Tapi kita tidak secara langsung mengatakan ini adil atau tidak, jika undang-undang itu tidak diberlakukan.
Jadi, penyebab lemahnya penegakkan hukum di Indonesia disebabkan karena krisis moralitas tokoh-tokoh elit negeri ini yang masih mementingkan kepentingan pribadi darip ada memikirkan masa depan negeri ini. Jika para petinggi negeri ini saja sudah berani melanggar hukum, bagaimana dengan rakyatnya? Bukan hal yang aneh jika sangat banyak pelanggar hukum di Indonesia yang bisa bebas tanpa harus menindaklanjuti kasusnya.
Masih banyak lagi potret buram penegakkan hukum di Indonesia yang lainnya. Kita sebagai warga Negara yang mengharapkan keadilan hukum bisa terwujud di negri ini, sudah reharusnya mentaati peraturan yang telah dibuat.
2.      Mengapa hukum sering digunakan sebagai alat untuk mengalahkan pencari keadilan?

Indonesia merupakan Negara Hukum, setiap warga Indonesia wajib mematuhi peraturan hukum yang telah dibuat. Negara Hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.
Ada di antara mereka itu yang mengutip pikiran Frans Magnis Suseso, bahwa negara itu masih pantas disebut sebagai negara hukum kalau mengandung sejumlah unsure, yaitu :
1.    Demi kepastian hukum
2.    Tuntutan perlakuan yang sama
3.    Legitimasi demokrasi
4.    Tuntutan akal budi

Demi kepastian hukum, artinya Pelanggaran HAM Berat dalam UU no.26 tahun 2000 sebagaimana tercantum dalam pasal 7 hanya meliputi dua macam kejahatan yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Implikasinya, secara teoretis, para pelanggar HAM yang bisa diadili menjadi semakin “sedikit” karena kejahatan yang dapat diadili oleh Pengadilan ini hanya meliputi dua jenis kejahatan itu saja, delik kejahatan Internasional (delicta juris gentium) diluar dua jenis kejahatan tersebut seperti misalnya kejahatan agresi dan kejahatan perang serta pelanggaran terhadap Konvensi Geneva tidak ter-cover di dalam Undang-Undang ini. Padahal penjelasan Undang-Undang ini secara eksplisit menyatakan bahwa UU ini mengacu pada Statuta Roma. Selain itu, ternyata ada ketidaksesuaian yang sangat signifikan antara bentuk-bentuk pelanggaran berat hak asasi manusia sebagaimana yang dicantumkan dalam UU no.26/2000 dengan definisi tindak kejahatan serupa menurut hukum internasional.

            Tuntutan perlakuan yang sama, artinya kita ambil contoh dari Sumbawa, DPRD Sumbawa kembali mengingatkan untuk menghapus istilah lingkar tambang. Pasalnya istilah inilah yang memicu terjadinya konflik dan pengkotak-kotakan masyarakat, di samping memberikan keistimewaan kepada kelompok-kelompok masyarakat di wilayah tertentu.
Jadi sebagai pemimpin yang baik, wajib mendengar pendapat warganya, dan memri hak masing-masing warga. keyakinan pada kesetaraan manusia terutama berkenaan dengan urusan sosial, politik, dan ekonomi.

            Legitimasi demokrasi, artinya : Adalah prinsip yang menunjukkan penerimaan keputusan pemimpin pemerintah dan pejabat oleh (sebagian besar) publik atas dasar bahwa perolehan para pemimpin 'dan pelaksanaan kekuasaan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku pada masyarakat umum dan nilai-nilai politik atau moral. Legitimasi mungkin akan diberikan kepada pemegang kekuasaan dalam berbagai cara dalam masyarakat yang berbeda, biasanya melibatkan ritual formal serius yang bersifat religius atau non-religius, misalnya kelahiran kerajaan dan penobatan di monarki, pemilihan umum dan "sumpah" dalam demokrasi dan seterusnya .
     Tuntutan akal budi, artinya kami percaya bahwa setiap manusia memiliki akal budi. Dengan bekal yang sangat berharga ini, manusia mampu menentukan setiap langkah dalam kehidupannya: apakah akan maju, mundur atau malah menyimpang? Akal budi yang baik akan mengarahk`n manusia ke jalan yang lurus. Mungkin pada suatu saat manusia akan mundur atau menyimpang salah jalan. Tetapi akal budi inilah yang akan berupaya meluruskan kembali jalan hidup kita.
Akal budi ini adalah anugerah terbesar dari Tuhan untuk manusia. Inilah yang membedakan kita dengan hewan atau bahkan dengan tumbuhan. Dengannya kita dapat mempelajari dan mendalami keimanan. Dengan iman inilah manusia dengan akal budinya mampu mengenali Tuhan.
Jadi seburuk apapun pemimpin-pemimpin yang ada disana mereka juga harus sadar akan perbuatannya yang mungkin menyimpang dengan peraturan yang ada, khusunya untuk hak rakyat kecil.



BAB III
PENUTUP

1.      KESIMPULAN

Lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat, kurangnya konsistensi dalam penegakan hukum, rendahnya kontrol terhadap penegakan hokum merupakan penyebab kemerosotan penegakkan hukum di Indonesia.
Hukum keadilan di Negara ini layaknya harus ditegakkan, bukan untuk para pejabat saja tetapi juga bagi semua warga Negara.


2.      SARAN

Masyarakat yang sehat dituntut untuk selalu menyediakan “bahan bakar” keadilan yaitu kejujuran dan keberanian agar perjalanan masyarakat dan negara tidak menyimpang dari tujuan bersama. Utamakan kepentingan bersama demi masa depan negeri ini. Karena bagaimanapun juga Negara ini adalah Negara hukum, kita sebagai warga Negara wajib mematuhi segala peraturan Negara.


DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Aristotle, 2004, Nicomachean Ethics; Cambridge University Press Translated by David Ross, UK
Hardiman, F. Budi. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Hal. 121.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar